Gadis Yang Wara'

Gadis Yang Wara'

Di suatu malam yang damai di madinah menyelimuti mereka yang lelap ke peraduan, seorang laki-laki menyingkirkan selimutnya. Ia bangkit berjalan menyusuri lorong-lorong yang sepi, meski angin berhembus menusuk tulang. Seorang diri, ia seolah menyatu dengan malam. Laki-laki itu adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a.

Sungguh Umar r.a tak bisa tidur karena didera khawatir. Ia khawatir kalau saja ada musafir kemalaman yang tak menemukan tempat menginap, orang sakit yang memerlukan obat, atau pun orang yang kelaparan yang tak bisa menemukan sesuatu untuk mengganjal perutnya. Ia resah kalau ada urusan rakyatnya yang terlewatkan. Bahkan ia juga merasa bertanggung jawab terhadap seekor keledai yang terpeleset di tepian sungai Eufrat.

Lama ia menghabiskan waktu berkeliling, meski keletihan mulai menyelimuti tubuhnya. Hingga pada sebuah tembok rumah kecil di ujung madinah, lelaki itu bersandar. Sejenak ia beristirahat sebelum melanjutkan langkahnya yang hampir mencapai Masjid Nabawi. Fajar hampir menyingsing.

Diantara suara binatang malam, sayup-sayup umar mendengar dua wanita yang berbincang dari dalam rumah tempat ia istirahat. Kedengarannya, sang anak berdebat dengan ibunya dan menolak mencampur susu perahan dengan air.

Sang ibu berkata, "Campurkanlah susu itu dengan air." "Amirul mukminin melarang susu campuran. Apakah ibu tidak mendengar dia melarang perbuatan itu?" ujar sang anak. "Umar r.a tidak melarang kita. Ia tidak mungkin mengetahui perbuatan kita di penghujung terakhir malam ini!" jawab sang ibu.

Seketika anaknya menjawab, "Wahai ibu, seandainya Amirul Mukminin tidak melihat kita, tapi Tuhan Amirul Mukminin melihat kita. Sungguh demi Allah, saya tidak akan melakukannya. Allah juga melarang perbuatan itu!"

Umar tekejut, Tapi pernyataan gadis itu menyejukkan hati Umar r.a. Sebuah jawaban jujur dari keimanan, ketakutan kepada Allah dan persaan diawasi oleh-Nya. Umar r.a pun mengakhiri perjalanannya, lalu menuju Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat subuh bersama para shahabatnya. Setelah itu, ia kembali kerumahnya. Kata-kata gadis itu masih terngiang-ngiang ditelinganya.

Umar pun memanggil Ashim, putranya yang sudah ingin menikah. Setelah menceritakan apa yang didengarnya, Umar r.a berucap pada anaknya, "Wahai anakku, pergilah dan nikahilah ia. Saya tidak melihatnya kecuali kau akan mendapatkan keberkahan. Semoga ia melahirkan anak yang memimpin Arab."

Ashim kemudian menikahi gadis miskin yang wara' itu. Namanya Ummu Ammarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi'ah Ats-Tsaqafi. Dari pernikahan itu lahirlah putri mereka Laila yang sering dipanggil sebagai Ummu Ashim. Ummu Ashim yang kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan melahirkan Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang dikenal zuhud,bertaqwa dan wara'.

Saudaraku mencari sosok gadis seperti Ummu Ammarah begitu sulit ditemukan sekarang. Seakan nilai kejujuran dalam masyarakat kita begitu sulit ditemukan. Gadis-Gadis cenderung berlomba menjadi selebriti yang disorot media dengan hanya mengandalkan kecantikan luar (outer beuty) mereka dengan menyampingkan kecantikan  dalam mereka (Inner beuty).

Kita hidup ditengah masyarakat yang kebanyakan melihat harga orang lain dari tampilan luarnya. Yang berlaku adalah hukum kemasyhuran yang ditentukan industri media, seakan jika tidak terkenal, seorang manusia bukanlah siapa-siapa.

Gadis Ummu Ammarah itu memang tidak terlalu terkenal dimata kita, tapi sesungguhnya ia sangat dikenal di surga. Ia menulis riwayatnya yang wangi, seharum hati dan perilakunya.

Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar