Rasulallah Saw bersabda: Haji yang mabrur tiada balas baginya kecuali surga. Menjadi haji mabrur adalah impian setiap muslim. Mabrur menurut imam An-Nawawi adalah "Haji yang diterima, haji yang dilakukan dengan sempurna dengan tidak disertai dosa." Hasan Al-Basri menambahkan, haji mabrur itu, "Setelah kepulanganmu dari naik haji, engkau makin shalih, lebih semangat dalam beramal, selalu berpikir untuk memberi manfaat, tidak lagi rakus akan kemewahan dunia."
Begitu banyak jumlah orang berhaji, setiap tahun kuota haji selalu penuh, tapi negri ini tak kunjung berubah. Berita seputar korupsi, pencurian, serta aneka kejahatan masih mendominasimedia masa setiap hari. Mungkinkah karena nilai kemabruran tadi belum tertanam.
Disebuah desa terpencil, aada seorang miskin. yang bekerja sebagai tukang semir sepatu. Walaupun miskin, kesalehannya mengabdi kepada Allah Swt sangat besar. Sebagai mana muslim lainnya, ia juga memimpikan untuk dapat melaksanakan ibadah haji, entah disuatu hari nanti.
Untuk meraih mimpi itu, ia menyisihkan penghasilannya dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun. Kalaulah bukan karena iman dan tawakkal yang tinggi, pastilah hamba Allah ini patah semangat, sebab uang yang dikumpulkan seolah tidak pernah mencukupi biaya haji yang dibutuhkan.
Namun ketika bekal untuk berhaji dirasa cukup, dengan dipenuhi suka cita ia pun bersiap untuk berangkat menunaikan ibadah haji. Saat tiba masa memulai perjalanan itu, terdengar kabar kalau tetangganya mengalami sakit dan memerlukan bantuan keuangan untuk pengobatan.
Si tukang semir pun mengalihkan langkah kakinya menuju kediaman tetangganya. Setelah dilihatnya tetangganya yang juga miskin, merintih menahan sakit, dengan ikhlas dan tekad semata-mata untuk mencari ridha Allah Swt dan meringankan kesulitan tetangganya, ia memberikan bekal perjalanan hajinya.
Meski ia batal berangkat haji, namun dalam hatinya ia tetap bersyukur karena mampu memberikan secercah harapan dan ketenangan kepada tetangganya yang ditimpa musibah itu.
Setelah itu, ia kembali melakukan pekerjaan sehari-harinya dengan ikhlas dan berserah diri kepada Allah Swt. Diwaktu yang bersamaan, dikota terdekat dari kampung tukang semir sepatu itu, ada beberapa orang yang berangkat menunaikan haji dimusim haji itu. Ketika di padang Arafah, sebagian jama'ah haji tertidur.
Di antaranya adalah seorang saudagar kaya dan terpandang dari kota dekat perkampungan hamba Allah yang miskin tadi. Sang saudagar tertidur pulas ditengah-tengah kekhusyu'an manusia memuja Rabb mereka.
Dalam tidurnya, sang saudagar ini bermimpi bertemu dengan Rasulallah Saw. Si saudagar pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya kepada Rasulallah Saw: "Wahai Rasulallah Saw, siapakah diantara hamba-hamba Allah Swt yang menunaikan ibadah haji tahun ini yang diterima sebagai haji mabrur?"
Rasulallah Saw kemudian menjawab dengan tersenyum ramah: "Si fulan," seraya menyebutkan nama si miskin, tukang semir sepatu itu. Saudagar itu terkejut dan ingin tahu siapa gerangan yang beruntung itu. "wahai Rasulallah Saw, siapa gerangan dia dan berasal dari mana?" Rasulallah Saw kembali menjawab, "Dia adalah hamba Allah Swt dari perkampungan fulan," sambil menyebut nama kampungnya. Mendengar perkataan Rasulallah Saw, saudagar itu hampir tidak percaya.
Mana mungkin pikirnya, ada seorang yang pergi haji dari kampung itu. Semua penduduknya miskin. Penghasilan mereka tidak mungkin mencukupi untuk bisa menunaikan ibadah haji. Kebingungan saudagar ini membuatnya terbangun.
Usai menyelesaikan ibadah hajinya, saudagar itu ingin mencari tahu siapa gerangan yang dimaksud Rasulallah. Ditelusurinya kampung yang disebutkan Rasulallah Saw di dalam mimpinya, tapi tak seorang pun yang mengaku melakukan ibadah haji.
Lalu dicarinya nama orang yang pertama disebut Rasulallah Saw dalam mimpinya. Ternyata dia hanyalah seorang tukang semir sepatu yang miskin.
Masih diliputi keheranan, saudagar itu meminta sang penyemir menceritakan perihal siapa dirinya, sehingga Rasulallah Saw menjamin baginya haji mabrur. Maka dengan tenang sang penyemir itu bercerita panjang. Mulai dari niatnya yang kuat untuk melaksanakan haji, mengumpulkan perbekalan sedikit demi sedikit, hingga saat-saat keberangkatannaya yang batal setelah mengalihkan uang hajinya kepada tetangganya yang membutuhkan pertolongan.
"Barangkali niat, kerja keras dan tekadku itu yang diteriama. Saya ikhlas menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt," kata si penyemir sepatu.
Diakisahkan, Saat di padang Arafah, Sayyidina Abu Bakar r.a, pernah ditanya seorang sahabat:"Apakah haji mabrur itu wahai Abu Bakar r.a?" "Engkau akan melihat apakah haji kamu mabrur atau tidak dimadinah nanti" jawa Abu Bakar r.a singkat
Maksud ucapan Sayidina Abu Bakar r.a, bahwa haji akan diketahui nabrur atau tidaknya saat kembali ke madinah atau kampung halaman, mabrurnya haji dilihat saat kembali berada ditengah-tengah kehidupan keseharian, apakah terjadi perubahan yang positif atau tidak dari orang yang baru saja menunaikan haji.
Jelas dari kisah diatas, bahwa haji adalah amalan ibadah dalam islam yang memiliki konsekuensi sosial yang tinggi. Panggilan berhaji dalam islam itu sendiri dikumandangkan dalam bentuk pwnggilan "kemanusiaan," Dan kumandangkanlah kepada manusia(wahai Ibrahim As) untuk datang berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu (untuk berhaji) dengan berjalan kaki dan mengendarai onta-onta yang jinak. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru yang jauh." (Al-Qur'an).
Ketika Allah Swt memerintahkan kaum Muslimin untuk berhaji dalam Al-Qur'an, juga dipakai panggilan "kemanusiaan," Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji kepada Baitullah, bagi siapa yang mampu." (Al-Qur'an).
Ini menunjukkan ikatan sosialkemanusiaan yang terdapat dalam ibadah haji tersebut. Dan kenyataannya memang demikian . Disaat musim haji mereka yang datang ke tempat-tempat suci itu hanya dipandang sebagai manusia. Mereka tidak lagi dipandang dalam ikatan-ikatan sosial dan keduniaan lainnya. Hanya satu ukuran yang membedakan diantara mereka, yaitu ukuran ketakwaan yang tidak ditentukan oleh kelas sosial mereka dikampung halamannya.
Kesadaran nilai sosial dalam berhaji ini seharusnya ditumbuh suburkan disaat manusia diterkam gaya hidup egoistik dunia modern. Dinding-dinding pembatas sosial begitu kuat menjadikan manusia saling menilai, bukan lagi dengan penilaian kemanusiaannya, tapi lebih dekat kepada penilaian hewaninya. Manusia sering berbangga dengan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, dan kekayaannya.
Seoalah semua inilah yang menentukan harga diri seorang anak manusia Disaat jutaan manusia menjerit dalam genggaman kerisauan ekonomi, tiada pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang melonjak, manusia seharusnya tersadar akan pentingnya "haji sosial".
Disaat ribuan anak-anak bangsa harus kehilangan kesempatan belajar karena biaya pendidikan yang tinggi, kita tersadarkan oleh hajinya sang tukang sepatu. Yaitu haji yang terbangun diatas fondasi kesadaran sosial yang tinggi dan bukannya haji yang semakin membawa kepada prilaku egoistik atas nama Allah Swt dan Ridha-Nya.
Advertisement
